Ngayawara tegese – Dalam bahasa Jawa, kata “ngayawara” menyimpan makna yang kaya dan penuh nuansa. Kata ini bukan sekadar kumpulan huruf, tetapi jendela yang membuka jalan menuju pemahaman tentang budaya dan nilai-nilai luhur Jawa. “Ngayawara” merupakan kata yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari, cerita rakyat, peribahasa, bahkan dalam karya sastra Jawa.
Menelusuri jejak kata “ngayawara” berarti menjelajahi warisan budaya Jawa yang sarat makna dan penuh hikmah. Melalui pemahaman tentang arti dan sejarah kata ini, kita dapat menyingkap tabir keindahan dan kedalaman budaya Jawa yang telah diwariskan turun temurun.
Makna dan Arti Kata “Ngayawara”: Ngayawara Tegese
Kata “ngayawara” dalam bahasa Jawa merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata ini memiliki makna yang luas dan dapat diartikan dalam berbagai konteks, tergantung pada situasi dan penggunaannya.
Arti Kata “Ngayawara” dalam Bahasa Jawa
Secara sederhana, “ngayawara” berarti “berjalan-jalan” atau “berkeliling”. Kata ini menggambarkan aktivitas seseorang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan tertentu, hanya untuk menikmati suasana atau mencari hiburan.
Contoh Kalimat “Ngayawara”
Berikut contoh kalimat yang menggunakan kata “ngayawara” dalam konteks percakapan sehari-hari:
- “Aku arep ngayawara ning pasar, kowe ora melu?” (Aku mau jalan-jalan ke pasar, kamu mau ikut?)
- “Sore iki aku pengen ngayawara ning taman, hawane adem.” (Sore ini aku mau jalan-jalan di taman, hawanya sejuk.)
Makna “Ngayawara” dalam Berbagai Konteks, Ngayawara tegese
Selain makna dasar “berjalan-jalan”, kata “ngayawara” juga memiliki makna yang lebih luas dalam berbagai konteks, seperti dalam cerita rakyat, peribahasa, atau lagu daerah.
- Dalam Cerita Rakyat: Kata “ngayawara” sering digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang melakukan perjalanan jauh, seperti dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” atau “Lutung Kasarung”. Tokoh-tokoh ini biasanya melakukan perjalanan untuk mencari petualangan, harta karun, atau cinta.
- Dalam Peribahasa: Kata “ngayawara” juga sering digunakan dalam peribahasa Jawa, seperti “Laku ngayawara ora ngerti dalan”. Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas, sehingga tidak mencapai hasil yang maksimal.
- Dalam Lagu Daerah: Kata “ngayawara” juga terdapat dalam beberapa lagu daerah Jawa, seperti lagu “Cikrak-Cikrak” atau “Lir-Ilir”. Dalam lagu-lagu tersebut, kata “ngayawara” menggambarkan aktivitas anak-anak yang bermain dan berkeliling di alam terbuka.
Perbandingan Makna “Ngayawara” dengan Kata Sinonim
Kata | Arti | Contoh Kalimat |
---|---|---|
Ngayawara | Berjalan-jalan, berkeliling | Aku arep ngayawara ning pasar. |
Mlaku-mlaku | Berjalan-jalan, berjalan santai | Aku arep mlaku-mlaku ning taman. |
Ngumbara | Berkelana, berpetualang | Dheweke ngumbara ning alas. |
Ngembara | Berkelana, berpetualang | Wong-wong mau ngembara ning gunung. |
Asal Usul dan Sejarah Kata “Ngayawara”
Kata “ngayawara” dalam bahasa Jawa merupakan kata yang kaya makna dan sejarah. Kata ini memiliki akar yang dalam dalam budaya Jawa dan telah digunakan dalam berbagai konteks selama berabad-abad. Untuk memahami makna dan penggunaan kata “ngayawara” secara menyeluruh, kita perlu menelusuri asal-usul dan sejarahnya.
Asal Usul Kata “Ngayawara”
Kata “ngayawara” berasal dari kata dasar “yawara” yang memiliki arti “berjalan” atau “bergerak”. Kata “ng-” di awal merupakan prefiks yang menunjukkan tindakan atau proses. Jadi, “ngayawara” secara harfiah berarti “melakukan tindakan berjalan” atau “bergerak secara aktif”. Namun, seiring waktu, kata “ngayawara” berkembang dan memiliki makna yang lebih luas dan kompleks.
Sejarah Penggunaan Kata “Ngayawara”
Kata “ngayawara” telah digunakan dalam berbagai periode waktu dalam bahasa Jawa, dengan makna dan konteks yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh:
- Masa Klasik (abad ke-8 – ke-15): Dalam periode ini, kata “ngayawara” sering digunakan dalam konteks perjalanan, migrasi, atau perpindahan penduduk. Misalnya, dalam teks-teks sastra Jawa Kuno, kata “ngayawara” digunakan untuk menggambarkan perjalanan para pengembara atau para pedagang yang menjelajahi wilayah Jawa.
- Masa Peralihan (abad ke-16 – ke-18): Pada masa ini, kata “ngayawara” mulai digunakan dalam konteks sosial dan politik. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan gerakan atau aktivitas kelompok tertentu, seperti gerakan perlawanan terhadap penjajah atau gerakan sosial yang bertujuan untuk memperjuangkan keadilan.
- Masa Modern (abad ke-19 – sekarang): Pada masa modern, kata “ngayawara” masih digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam bahasa sehari-hari, sastra, dan seni. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan tindakan yang aktif, dinamis, dan penuh semangat. Misalnya, seseorang yang “ngayawara” dalam pekerjaannya adalah seseorang yang aktif dan penuh semangat dalam menjalankan tugasnya.
Cerita Rakyat dan Legenda yang Berkaitan dengan Kata “Ngayawara”
Dalam budaya Jawa, terdapat beberapa cerita rakyat dan legenda yang berkaitan dengan kata “ngayawara”. Salah satu contohnya adalah cerita tentang “Jaka Tarub”, seorang pemuda yang “ngayawara” ke hutan untuk mencari kayu. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan tujuh bidadari yang sedang mandi di sebuah telaga. Jaka Tarub kemudian mencuri salah satu selendang bidadari dan menggunakannya untuk mengikat bidadari tersebut agar tidak bisa terbang kembali ke kayangan. Cerita ini menggambarkan bagaimana kata “ngayawara” dapat dikaitkan dengan tindakan yang berani, penuh petualangan, dan mengandung unsur mistis.
Perkembangan dan Perubahan Kata “Ngayawara” Seiring Waktu
Kata “ngayawara” telah mengalami perkembangan dan perubahan seiring waktu, baik dalam arti maupun penggunaannya. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perkembangan bahasa, perubahan sosial, dan pengaruh budaya asing. Meskipun kata “ngayawara” telah mengalami perubahan, makna inti dari kata ini tetap sama, yaitu menggambarkan tindakan yang aktif, dinamis, dan penuh semangat.
Penggunaan Kata “Ngayawara” dalam Sastra dan Budaya Jawa
Kata “ngayawara” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang kaya dan mendalam, melampaui sekadar makna literalnya. Kata ini seringkali muncul dalam karya sastra Jawa, seperti tembang, geguritan, dan novel, dan menjadi bagian integral dari tradisi lisan dan budaya Jawa. Penggunaan “ngayawara” dalam konteks sastra dan budaya Jawa membuka jendela pemahaman yang lebih luas tentang nilai-nilai, filosofi, dan kearifan lokal yang melekat dalam masyarakat Jawa.
Contoh Penggunaan Kata “Ngayawara” dalam Karya Sastra Jawa
Kata “ngayawara” kerap digunakan dalam berbagai bentuk karya sastra Jawa. Berikut beberapa contohnya:
- Dalam tembang macapat, “ngayawara” sering digunakan untuk menggambarkan perasaan rindu, kerinduan, atau keinginan yang mendalam. Misalnya, dalam tembang “Dhandhanggula,” terdapat bait yang berbunyi: “Nggayawara atiku ingkang tansah kelingan, marang sliramu kang wus lali” (Hatiku selalu terkenang, pada dirimu yang sudah lupa). Bait ini menggambarkan perasaan rindu yang mendalam dan keinginan untuk kembali mengingat kenangan masa lalu.
- Dalam geguritan, “ngayawara” dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi batin yang gelisah, resah, atau tidak tenang. Misalnya, dalam geguritan “Rasa Tresna,” terdapat bait yang berbunyi: “Atiku nggayawara, ora tentrem, krungu swaramu, ngilang saka ing dhadhaku” (Hatiku gelisah, tidak tenang, mendengar suaramu, menghilang dari dadaku). Bait ini menggambarkan perasaan tidak tenang dan resah yang dialami seseorang karena kehilangan orang yang dicintainya.
- Dalam novel Jawa, “ngayawara” dapat digunakan untuk menggambarkan konflik batin atau dilema yang dialami tokoh. Misalnya, dalam novel “Banyu Langit” karya S.M. Ardan, tokoh utama mengalami konflik batin antara keinginan untuk mempertahankan tradisi dan tuntutan zaman modern. Kondisi ini dapat digambarkan dengan kata “ngayawara,” yang menunjukkan perasaan bimbang dan tidak tenang dalam menghadapi pilihan hidup.
Peran Kata “Ngayawara” dalam Tradisi Lisan dan Budaya Jawa
Kata “ngayawara” memiliki peran penting dalam tradisi lisan dan budaya Jawa. Kata ini menjadi bagian dari peribahasa, pepatah, dan ungkapan yang mencerminkan nilai-nilai dan kearifan lokal Jawa. Berikut beberapa contohnya:
- Peribahasa “Ngayawara ati, ora pati nggayawara badan” (Gelisah hati, tapi tidak terlalu gelisah badan) menggambarkan sikap tenang dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Peribahasa ini mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan ketenangan dalam menghadapi berbagai situasi.
- Pepatah “Ngayawara nganti tekaning ati, ora nggayawara nganti tekaning badan” (Gelisah sampai ke hati, tidak gelisah sampai ke badan) menekankan pentingnya kejujuran dan ketulusan dalam bersikap. Pepatah ini mengajarkan agar seseorang tidak hanya menunjukkan kebaikan di permukaan, tetapi juga tulus dari hati.
- Ungkapan “Ngayawara ati, nganti ngguyu” (Gelisah hati, sampai tertawa) menggambarkan perasaan gembira dan lega setelah melewati masa sulit. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan dapat dicapai setelah melewati berbagai rintangan dan ujian hidup.
Kutipan dari Karya Sastra Jawa yang Menggunakan Kata “Ngayawara”
“Atiku nggayawara, ngeling-eling sliramu, kang wus lali marang aku” (Hatiku gelisah, terkenang pada dirimu, yang sudah lupa padaku).
– Bait dalam tembang “Dhandhanggula”
Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Kata “Ngayawara”
Kata “ngayawara” merefleksikan nilai-nilai budaya Jawa yang mendalam. Kata ini menunjukkan bahwa manusia Jawa memiliki kepekaan terhadap perasaan, baik perasaan sendiri maupun perasaan orang lain. Kata “ngayawara” juga menunjukkan bahwa manusia Jawa memiliki kesadaran akan pentingnya pengendalian diri dan ketenangan dalam menghadapi berbagai situasi. Selain itu, kata “ngayawara” juga mencerminkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, ketulusan, dan kesabaran.
Contoh Ilustrasi Kata “Ngayawara”
Kata “ngayawara” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang luas dan sering digunakan dalam berbagai konteks. Kata ini bisa merujuk pada sikap seseorang yang suka berkelana, mengembara, atau bahkan hanya sekadar pergi meninggalkan rumah untuk sementara waktu. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kata “ngayawara” dapat diartikan sebagai “jalan-jalan” atau “berlibur”. Berikut adalah beberapa ilustrasi yang menggambarkan makna kata “ngayawara” dalam berbagai konteks.
Contoh Ilustrasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Bayangkan seorang pemuda yang merasa jenuh dengan rutinitas hariannya. Ia merasa perlu untuk “ngayawara” sejenak, meninggalkan hiruk pikuk kota dan mencari ketenangan di pedesaan. Ia berkemas, membawa ransel berisi beberapa keperluan, dan berangkat menuju sebuah desa di lereng gunung. Di sana, ia menikmati suasana alam yang tenang, berinteraksi dengan penduduk setempat, dan merasakan kehidupan yang lebih sederhana. Dalam ilustrasi ini, “ngayawara” dapat diartikan sebagai upaya untuk mencari ketenangan dan pengalaman baru di luar rutinitas sehari-hari.
Contoh Ilustrasi dalam Cerita Rakyat
Dalam cerita rakyat Jawa, “ngayawara” seringkali dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dalam cerita. Misalnya, dalam cerita rakyat “Jaka Tarub”, tokoh utama, Jaka Tarub, “ngayawara” ke hutan untuk mencari kayu bakar. Di sana, ia bertemu dengan bidadari yang sedang mandi. Kisah ini menggambarkan “ngayawara” sebagai sebuah petualangan yang penuh dengan misteri dan kemungkinan untuk menemukan sesuatu yang tak terduga. Dalam konteks cerita rakyat, “ngayawara” bisa diartikan sebagai perjalanan spiritual untuk mencari jati diri atau tujuan hidup.
Contoh Ilustrasi dalam Budaya Jawa
Dalam budaya Jawa, “ngayawara” memiliki makna yang lebih luas dan filosofis. “Ngayawara” dapat diartikan sebagai perjalanan spiritual untuk mencari pencerahan dan memahami makna hidup. Tradisi “tapa brata” di Jawa, misalnya, merupakan bentuk “ngayawara” spiritual yang dilakukan untuk mencapai kesucian dan kebijaksanaan. Dalam konteks budaya Jawa, “ngayawara” tidak hanya sekedar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batiniah untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam.